dari rak buku
ke layar lebar

  • Mulai 30 Agustus 2018, Wiro Sableng, murid pendekar sakti Sinto Gendeng, menjumpai para penggemarnya lewat film Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko.

    Dok Lifelike Pictures

    Artis peran Vino G Bastian menjadi pendekar silat pemilik Pukulan Kunyuk Melempar Buah itu. Vino anak dari Bastian Tito, penulis novel fiksi seri Wiro Sableng.

    Sedikit bernostalgia, Wiro Sableng hadir untuk kali pertama dalam Empat Berewok dari Goa Sanggreng, seri pertama novel tersebut, yang diterbitkan pada 1967.

    Wiro, yang bernama asli Wira Saksana, merupakan anak lelaki satu-satunya dari pasangan Ranaweleng dan Suci.

    Dalam cerita itu, kehidupan keluarga tersebut baik-baik saja sampai Suranyali alias Mahesa Birawa datang ke kampung mereka. Mahesa membunuh Ranaweleng dan Suci karena sakit hati cintanya ditolak oleh Suci.

    Sementara itu, Wiro Sableng, yang ketika itu masih bayi dan bernama Wira Saksana, hanya menangis di tengah kepungan api yang melalap rumah ayah dan ibunya.

    Namun, tiba-tiba muncul sosok hitam menyelamatkan Wira. Ia Sinto Weni alias Sinto Gendeng, perempuan tua yang akan mengubah Wira menjadi Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.

    Dok Lifelike Pictures

    Mula-mula, 1967-2006, Wiro Sableng dikenal melalui novel yang mencakup 185 seri itu, antara lain 3 Setan Darah dan Cambuk Api Angin, 5 Iblis dari Nanking, Bencana di Kota Gede, dan Bahala Jubah Kencono Geni.

    Kemudian, Wiro Sableng, yang dimainkan oleh Tony Hidayat, hadir dalam film Sengatan Satria Beracun (1988).

    Setelah itu, dibintangi oleh Ken Ken, lalu Abhie Cancer, sinetron serinya ditayangkan pada 1997.

    ke film lagi

    Kini, Wiro Sableng, lewat film Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, kembali menyapa para penggemarnya sekaligus berkenalan dengan generasi Y atau milenial.

    Dok Lifelike Pictures

    Produsernya, Sheila Timothy atau Lala dari Lifelike Pictures, mengatakan bahwa ide untuk menghadirkan lagi karakter legendaris tersebut, melalui layar lebar, muncul tiga atau empat tahun lalu.

    Ketika itu Lala mendapat tawaran dari Vino, yang juga merupakan adik iparnya, untuk menjadi produser film Wiro Sableng.

    Namun, ketika itu kakak dari istri Vino, artis peran Marsha Timothy, itu merasa belum siap. Apalagi, ia sedang sibuk sebagai produser film Tabula Rasa.

    "Waktu itu saya belum siap mental untuk memproduksi film yang eskalasinya sebesar itu. Saya tahu ini akan jadi action, akan jadi fantasi, pastinya akan butuh budget dan dana yang besar. Jadi, butuh effort dan tenaga kalau mau bagus gitu," tuturnya kepada Kompas.com.

    "Jadi, waktu itu saya bilang, saya pas dulu deh, soalnya saya belum pernah bikin film action, jadi enggak berani gitu," tuturnya pula.

    Vino lalu membujuk Lala. Ia meminta Lala membaca 10 seri pertama novel Wiro Sableng.

    Buku-buku itu berjudul Empat Berewok dari Goa Sanggreng, Maut Bernyanyi di Pajajaran, Dendam Orang-Orang Sakti, Keris Tumbal Wilayuda, Neraka Lembah Tengkorak, Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga, Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin, Dewi Siluman Bukit Tunggul, Rahasia Lukisan Telanjang, dan Banjir Darah di Tambun Tulang.

    Dok Lifelike Pictures

    Lala mulai membaca satu per satu novel itu pada akhir 2014. Ia mengaku terkesima oleh Bastian Tito. Menurut ia, Bastian mengarang cerita sekaligus mencipta jagat alias universe baru; universe atau jagat Wiro Sableng.

    Wiro Sableng yang sebelumnya diketahui oleh Lala lewat sinetron seri saja, ternyata memiliki kisah dan karakter yang luas dan kompleks.

    Kemudian, Lala bertemu dengan produser Hollywood Michael J Werner.

    Werner, yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan-perusahaan film Hollywood, menyambut baik rencana Lala memproduksi film Wiro Sableng.

    Merasa mendapat angin segar, Lala lalu memutuskan untuk mewujudkan film tersebut.

    Lala, yang juga menjadi penulis naskah film itu, membentuk tim kecil bersama Tumpal Tampubolon dan Seno Gumira Ajidarma serta dua orang lainnya untuk membedah 185 seri novel Wiro Sableng.

    Mereka bertemu seminggu sekali untuk membedah cerita serta tokoh-tokohnya, dari karakter, perguruan, jurus, pukulan, senjata, kostum hingga silsilah.

    Dok Lifelike Pictures

    "Buku ini pernah disinetronkan berdasarkan pembabakan buku. Kami merasa, kalau kami bikin yang sama, enggak ada pembaharuan. Jadi, kami buat sesuatu yang baru. Kami ambil beberapa karakter dari beberapa buku. Karena pisah-pisah, kami gabungkan," tuturnya.

    "Jadi, waktu nulis naskah untuk film pertama, kami sudah menciptakan universe. Jadi, ketika nanti akan dibuat film kedua dan ketiga, universe-nya sudah ada," sambungnya.

    "Akhirnya saya telanjur jatuh cinta dan enggak mungkin kalau enggak difilmkan. Nah, dari situ berjalan lah prosesnya, dari 2016 tepatnya mulai," tambahnya.

    memikat fox

    Sadar bahwa tingkat kesulitan produksi film Wiro Sableng tinggi, Sheila Timothy mencoba bekerja sama dengan pihak industri film luar negeri.

    Dok Lifelike Pictures

    Pada Februari 2016, Werner mengenalkannya kepada Thomas Jegeus, Presiden Fox International Productions (FIP), salah satu divisi pada perusahaan film Hollywood 20th Century Fox.

    Lala lalu memaparkan rencana pembuatan film Wiro Sableng di hadapan Fox. Ia menyodorkan konsep lengkap kepada mereka dalam pitching yang berlangsung di Hong Kong itu.

    Lala menjelaskan tentang sinopsis cerita, key art, hak kekayaan intelektual atau Intellectual Property (IP) Wiro Sableng, hingga rancangan film tersebut menjadi trilogi.

    Ia juga menjelaskan tentang potensi dari industri film Indonesia untuk menjadi bahan pertimbangan Fox.

    Ia tak lupa memaparkan bahwa film Wiro Sableng memiliki tiga pasar besar, yakni para pencinta novel serinya, penggemar sinetron serinya, dan milenial yang doyan film superhero dan laga.

    Hasilnya, setelah ratusan e-mail antar mereka, pada Januari 2017 Lifelike Pictures, yang dipimpin oleh Sheila Timothy, resmi mulai bekerja sama dengan FIP.

    Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menjalin kerja sama dengan Fox. Indonesia unggul dari dua negara lain yang tadinya disasar oleh Fox, yakni Filipina dan Vietnam.

    Menurut Lala, Fox tertarik karena film Wiro Sableng sangat organik, sangat Indonesia, sekaligus bersentuhan dengan hal-hal modern.

    Lala, yang sebelumnya sudah membuat musik dan konsep art dan desain Wiro Sableng, pada pertengahan 2016 mulai mengumpulkan tim produksi.

    Ia merangkul Adrianto Sinaga sebagai Production Designer dan Chris Lie dari Caravan Studios sebagai penanggung jawab konsep art dan desain.

    KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES

    Adrianto Sinaga, Sheila Timothy, dan Chris Lie

    Ia juga menempatkan Angga Dwimas Sasongko di kursi sutradara.

    Setelahnya, ia mengumpulkan para pemeran karakter-karakter utamanya.

    Mereka, antara lain, Vino G Bastian sebagai Wiro Sableng, Sherina Munaf sebagai Anggini, Fariz Alfarizi sebagai Bujang Gila Tapak Sakti, dan Yayan Ruhian sebagai Mahesa Birawa.

    "Februari 2017 baru bener-bener full team, masuk semua, dalam arti seluruh, 300 kru, yang akan bekerja sama untuk film ini," ujar Lala.

    "Kami baru mulai shooting pada Agustus 2017, shooting selama hampir empat bulan. Kemudian, post production. Kemudian filmnya baru akan dirilis akhir bulan ini, 30 Agustus 2018," sambungnya.

    "Total perjalanan film Wiro Sableng dari 2015 sampai 2018," imbuhnya.

    merawat warisan

    Porsi kerja sama yang terjalin antara Lifelike Pictures dengan FIP adalah 50 persen berbanding 50 persen.

    Sheila Timothy mengaku tidak mudah mencapai kesepakatan tersebut.

    Apalagi, ia juga harus meyakinkan Fox sehingga IP Wiro Sableng tetap dipegang oleh Lifelike Pictures dan ahli waris Bastian Tito, selain keputusan final mengenai produksi film Wiro Sableng tetap ada pada Lifelike Pictures.

    Menurut Lala, karena produksi film tersebut dilakukan di Indonesia, sulit jika keputusan final mengenai produksi film itu berada di luar negeri.

    Sementara itu, mengenai IP Wiro Sableng, tadinya Fox berusaha membeli sepenuhnya untuk membawanya ke Hollywood. Namun, Lala berhasil mempertahankannya.

    "Jadi, kami harus sejajar, kami partner di sini. Jadi, saya mau equal, 50-50, tidak lebih besar (porsi) mereka," ujarnya.

    peran fox

    Bekerja sama dengan FIP, Lifelike Pictures mendapat, antara lain, ilmu dan praktik pengembangan struktur cerita.

    Draft skenario Wiro Sableng, yang harus dikirim oleh Lifelike Pictures kepada FIP, dicermati oleh sejumlah script doctor atau ahli skenario dari Fox, yang sudah berpengalaman puluhan tahun.

    Para ahli skenario itu memberi masukan mengenai struktur cerita sampai akhirnya draft skenario tersebut menjadi satu naskah akhir yang lengkap dan siap digunakan untuk shooting.

    Dok Lifelike Pictures

    Selain itu, meski semua sineas profesional yang dilibatkan berasal dari Indonesia, termasuk 99 ahli efek visual, Lifelike Pictures tetap harus rutin memberi laporan tentang progres pengerjaan film tersebut.

    Laporan itu detail, mencakup dari hal-hal teknis hingga biaya produksi.

    FIP juga menangani distribusi film itu di luar Indonesia dan promosi film tersebut.

    Promosi yang sudah dilakukan oleh Fox tahun ini adalah menghadirkan Wiro Sableng dalam trailer parodi film Fox Deadpool 2 dan memutar trailer film Wiro Sableng pada acara screening film Deadpool 2 di Singapura.

    "Enggak pernah ada film Indonesia bisa promotion dengan film Fox dan kami melakukan itu," tekan Lala.

    Sementara itu, sebagai bagian dari distribusi oleh Fox, film Wiro Sableng akan diputar di Malaysia dan Singapura.

    "Kemudian juga distribusi, karena mereka punya distribusi di seluruh dunia, jadi itu yang di- handle oleh Fox," tambahnya.

    mengangkat derajat

    "Satu kata yang bikin saya dan keluarga itu percaya (kepada Sheila Timothy) dan tergugah, saya baru ketemu ada orang yang bilang bahwa, 'Saya mau angkat Wiro Sableng ke level yang lebih tinggi'," kisah Vino G Bastian, yang juga merupakan salah seorang ahli waris IP Wiro Sableng, kepada Kompas.com.

    "Nah, itu buat saya luar biasa dan itu dibuktikan oleh dia. Bahwa ternyata perusahaan besar seperti 20th Century Fox, mau mengambil film ini," lanjut Vino, yang berperan sebagai Wiro Sableng dalam film tersebut.

    "Ketika saya memutuskan memproduksi film Wiro Sableng ini, saya tahu bahwa kami akan masuk ke level yang lebih tinggi, level di atas film-film yang pernah kami buat," ujar Lala secara terpisah.

    "Saya tahu bahwa untuk film sekaliber ini saya butuh support enggak cuma dari dalam negeri. Saya butuh ini naik level, enggak cuma investasi uang, tapi juga ada transfer knowledge, ada pembelajaran, enggak cuma di Indonesia, tapi juga ke negara-negara lain," lanjutnya.

    Di samping itu, seiring pengerjaan film tersebut, Lifelike Pictures juga mengembangkan IP Wiro Sableng menjadi merchandise hingga games.

    “Jadi, ini bener-bener seperti dream project-lah bagi kami film maker. Semuanya nuangin ide dan semuanya semangat memberi yang terbaik," tuturnya.

    "Fox pun menjadi sangat kagum dengan apa yang kami berikan, karena apa yang kami tawarkan ke mereka adalah sesuatu yang unik, karena berasal dari Indonesia," sambungnya.

    "Kalau kami misalnya (menyajikan) martial art pakai kungfu atau wushu, kita akan sama dengan China atau Hong Kong. Tapi, kami bawa Indonesia, pure dengan style baru, unik, dan mereka berpikir bahwa ini sesuatu yang baru. Kami di sini belajar, kami naik level. Kami belajar sesuatu yang rasanya mahal sekali," imbuhnya.

    Melihat kerja tim produksi yang dipimpin oleh Lala sebagai produser sekaligus penulis naskah dan sutradara Angga Dwimas Sasongko, Vino meluncurkan pujian.

    "Buat saya itu salah satu pembuktian dari produser ke keluarga bahwa Wiro Sableng, lewat film ini, akhirnya mendapat tempat yang lebih tinggi lagi dari apa yang udah pernah kita buat," ujarnya.

    "Inilah sebenarnya yang saya sendiri sangat menghargai teman-teman di sini. Kalau saya enggak ikut dalam produksi ini, betapa ruginya saya," tekannya.

wiro sableng dan bastian tito di mata Vino G Bastian

  • Dok Pribadi

    Vino G Bastian merayakan ulang tahun kelima, pada 1987, bersama ayahnya, Bastian Tito.

    Dalam konferensi pers film Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 di Jakarta pada 2 Februari 2017, produser film itu, Sheila Timothy, mengumumkan bahwa Vino G Bastian (36) yang berperan sebagai Wiro Sableng.

    Wiro Sableng, yang bernama asli Wira Saksana, merupakan tokoh utama dalam novel seri Wiro Sableng karya mendiang Bastian Tito, ayah Vino.

    Vino, yang bernama lengkap Vino Giovani Bastian, merupakan salah satu dari lima anak Bastian dengan Herna Debby.

    Kepada Kompas.com, Vino mengungkapkan bahwa sejak kecil ia tidak pernah membayangkan kelak akan menjadi artis peran, apalagi main sebagai Wiro Sableng dalam film.

    Satu-satunya orang dalam keluarganya yang berhubungan dengan dunia hiburan adalah ayahnya, yang lahir pada 23 Agustus 1945 dan meninggal dunia pada 2 Januari 2006.

    Bastian merupakan jurnalis sekaligus penulis novel.

    "Enggak terpikir untuk menjadi Wiro. Dulu saya suka mencontohkan (gerakan Wiro), tapi enggak terpikir bakal jadi Wiro," kisah Vino kepada Kompas.com.

    "Kalau dimainkan sebagai permainan anak ya sering. Tapi, kadang berebutan, semua mau jadi Wiro Sableng, enggak ada yang mau jadi penjahatnya," kenang Vino.

    dongeng ayah

    Vino G Bastian mulai mengenal Wiro Sableng, pendekar silat yang sakti sekaligus slengean, melalui dongeng ayahnya, Bastian Tito.

    Ketika itu, Vino kecil masih bersekolah di TK (Taman Kanak-kanak) dan lebih suka melihat buku komik.

    "Karena keluarga kami nih sering traveling, bapak saya tuh di tengah perjalanan menceritakan Wiro Sableng, tapi dalam bentuk dongeng," tuturnya.

    "Dia bilang istilah-istilahnya, Wiro Sableng ilmunya seperti ini nih, nanti ada cahayanya nih, dia punya senjata ini. Nah, itu yang membuat saya tertarik sebenarnya," sambungnya.

    Vino, yang lahir pada 24 Maret 1982 di Jakarta, mengaku ketika kecil sudah tahu bahwa ayahnya seorang penulis dan cerita Wiro Sableng merupakan karya ayahnya.

    Seri pertama novel Wiro Sableng, Empat Berewok dari Goa Sanggreng, terbit pada 1967.

    Sebelum berkenalan dengan Wiro Sableng, Vino sudah disodori sejumlah buku komik seri, antara lain Tapak Sakti, Tiger Wall, dan Kungfu Boy.

    "Dari situ, ketika dia cerita tentang Wiro Sableng, jadi nyambung. Saya bisa membayangkan Wiro Sableng karena saya pernah baca cerita seperti itu," ujarnya.

    "Jadi, karakter-karakter yang diceritakan kepada saya lewat dongengnya, lewat cerita-cerita dia di perjalanan, itu membuat saya, 'Oh, ternyata bapak saya ini seorang pengarang yang luar biasa, ide-idenya luar biasa'," kenangnya lagi.

    Vino kemudian mulai membaca novel seri Wiro Sableng, namun tak urut seri demi seri.

    Jika melihat judul yang menarik menurut ia, sebut saja Pendekar Matahari dan Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga, barulah ia membacanya. Itu pun tak sampai tamat.

    "Kadang, belum sampai menjadi buku, sudah saya baca. Tapi, enggak continue, sekadar, 'Wah, ini judulnya menarik nih, langsung baca'," ucapnya.

    Namun, Vino mengaku pula tak mengenal Wiro Sableng dan universe atau jagatnya secara luas dan dalam.

    Akibatnya, ia harus melakukan riset lagi saat akan memerankan Wiro Sableng.

    "Kalau dibilang kenal banget, jujur aja enggak. Enggak kenal 100 persen, enggak kenal detail, saya enggak kenal seperti itu," ucapnya.

    "Ketika Wiro Sableng mau difilmkan lagi, saya cari lagi tuh buku-bukunya, saya kumpulin lagi. Sepuluh buku pertama yang ada itu menjadi salah satu bahan riset untuk tim Wiro Sableng ini. Sepuluh buku itulah yang saya baca-baca lagi," lanjutnya.

    bunyi mesin ketik

    Salah satu hal yang tak bisa Vino G Bastian lupakan dari Bastian Tito adalah bunyi mesin ketik pada malam hari. Ketika mendengar itu, Vino tahu ayahnya sedang bertualang dengan Wiro Sableng.

    "Biasanya, pulang kerja, dia ngetik, biasanya malam. Nah, bunyi mesin ketiknya itu yang enggak pernah saya lupakan, karena dia nulis pakai 11 jari. He he he. Sampai sudah berganti ke mesin ketik listrik, belum komputer tuh, dan saat sudah komputer, gaya ngetik-nya itu tetap kasar gitu," kenangnya.

    "Nulis dia itu kayak bukan kerjaan, tapi kayak hobi ya. Jadi, memang dua profesi yang berbeda, saat dia di kantor (di sebuah perusahaan bidang purchasing) dan saat dia nulis," tambahnya.

    Vino juga mengatakan bahwa Bastian menulis dari SMA sampai akhir hayatnya, dari bermodal pulpen hingga menggunakan komputer.

    Sebelum meninggal dunia dalam usia 60 tahun, Bastian, yang memiliki gelar Master of Business Administration (MBA), masih aktif menulis.

    Namun, sambung Vino, Bastian mengalami penurunan dalam menghasilkan karya menjelang dia pergi untuk selamanya, dari beberapa cerita menjadi satu cerita saja per bulan.

    "Dia meninggal sebetulnya karena serangan jantung, dalam kondisi yang fit sebenarnya, dalam kondisi yang masih mau kerja," tuturnya.

    "Tapi, mungkin karena harus cari ide baru lagi, harus cari konsep lagi di antara buku-buku yang sudah mulai banyak keluar (terbit) gitu kan, jadi cukup mengerti sih produksinya sudah mulai melambat," tuturnya pula tentang penurunan produktivitas ayahnya.

    james bond dan 212

    Mengenang Bastian Tito, Vino G Bastian juga mengisahkan hubungan antara penciptaan Wiro Sableng dan angka ikoniknya, 212, dengan agen rahasia Inggris James Bond atau 007.

    Vino menyebut bahwa ayahnya menggemari cerita James Bond dan pernah ikut menerjemahkan novel seri James Bond, karya Ian Fleming, dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

    Vino mengatakan bahwa kisah James Bond mendatangkan ide bagi ayahnya untuk mencipta jagoan Indonesia yang memiliki angka ikonik.

    Namun, merujuk ke penjelasan ayahnya, Vino memaparkan bahwa angka 007 merupakan kode agen rahasia saja bagi James Bond, sedangkan 212 milik Wiro Sableng bermakna lebih dalam.

    Angka 1, kata Vino, melambangkan Tuhan, dan angka-angka 2 di kiri dan kanannya melambangkan ciptaan Tuhan.

    Artinya, Tuhan itu hanya satu atau tunggal, sedangkan manusia dan ciptaan-ciptaan lain Tuhan memiliki dua sisi yang berbeda dan berpasangan, yaitu baik dan buruk, malam dan siang, perempuan dan laki-laki.

    "Bapak saya jelasin, sama kayak di dunia persilatan, ada orang baik ada orang jahat, ada perempuan ada laki-laki," sambung Vino.

    Kata Vino pula, jika dijumlahkan, angka-angka 2,1, dan 2 menjadi angka 5. Ayahnya mengaitkannya dengan, antara lain, lima sila dalam Pancasila.

    Lanjut Vino, untuk mewujudkan universe atau jagat Wiro Sableng, ayahnya biasa melakukan riset serius, meski Wiro Sableng merupakan novel fiksi.

    "Misalnya, dia mau menggambarkan pendekar dari daerah tertentu, nah dia pergi ke daerah itu. Dia lihat demografinya, kondisi sosialnya, budayanya seperti apa," ceritanya.

    Karena Wiro Sableng pendekar silat, Bastian juga mampir ke perguruan-perguruan silat di daerah-daerah yang ia kunjungi.

    Bastian juga biasa membawa keluarganya ketika melakukan riset. Vino mengaku ketika itu ia mengira perjalanan tersebut merupakan wisata keluarga, bukan riset.

    "Dia foto-foto, dia gambarin. Dari hasil risetnya itu dia bikin jadi suatu cerita," ucapnya.

    Bastian Tito melakukan pula riset kepustakaan.

    "Buku dia banyak, tentang Nusantara, tentang silat, spiritual juga. Wiro Sableng kan secara enggak langsung dialog-dialognya spiritual sebenarnya. Tapi, digambarkannya ringan, seperti kehidupan sehari-hari," paparnya.

    balas budi

    Bersedia terlibat dalam film Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, aku Vino G Bastian, merupakan caranya untuk membalas budi orangtuanya.

    Awalnya, dengan menyerahkan izin pembuatan film Wiro Sableng kepada Lifelike Pictures dan mendampingi riset tentang Wiro Sableng, ia merasa sudah cukup melestarikan karya warisan ayahnya.

    Namun, setelah melihat keseriusan kerja tim film Wiro Sableng, Vino tersadar.

    "Ada kata-kata dari mereka (kru Wiro Sableng) yang mungkin bikin saya cukup termotivasi. Mereka yang bukan bagian dari keluarga, bangga banget membikin film ini, melestarikan karya bapak saya. Kok saya, keluarga sendiri, enggak berpikir untuk andil di situ," tuturnya.

    "Toh, saya sampai kapan pun enggak bakal bisa balas budi orangtua saya. Mungkin dengan bergabung di sini, melestarikan karya ayah saya, ini sebagai bakti kecil saya aja untuk orangtua," ujarnya.

    Setelah akhirnya menyelesaikan shooting film tersebut, ia merasa keputusannya untuk berperan sebagai Wiro Sableng sangatlah tepat.

    "Saya berpikir, gila, betapa menyesalnya saya kalau saya bener-bener enggak ikut di sini. Padahal, saya melihat kru, cast yang lain itu bener-bener abis-abisan banget, buat karya yang terbaik untuk Wiro Sableng ini," tuturnya juga.

    "Ketika saya melihat beberapa cuplikannya (dari filmnya), wah saya terharu banget. Maksudnya, orang-orang ini kerja kerasnya luar biasa banget. Saya hampir saja melewatkan kesempatan emas ini," ujarnya pula.

    Vino menceritakan pula, tak ada pesan terkait novel seri Wiro Sableng yang disampaikan oleh ayahnya sebelum mengembuskan napas terakhir.

    Namun, ayahnya pernah menekankan bahwa buku tidak bisa disamakan dengan karya-karya lain, termasuk sinetron seri dan film.

    "Ketika ada orang yang buat sinetron, buat film, pasti punya imajinasi berbeda dan itu sah-sah aja, karena setiap pembaca bukunya juga punya imajinasi yang berbeda. Dia sangat menghargai itu," tuturnya.

    Vino mengatakan bahwa ia dan saudara-saudaranya, sebagai para ahli waris karya ayah mereka tersebut, sepakat untuk menjaganya baik-baik. Mereka tidak akan membiarkan pihak-pihak lain membuat apapun dengan kualitas asal-asalan terkait Wiro Sableng.

    "Makanya, kami jaga banget. Jadi, beberapa PH (production house) yang menawarkan ini (dibuat film lagi), terpaksa kami tolak, karena enggak klik dengan visi dan misi yang keluarga pegang," ujarnya.

vino jadi wiro

  • Sebelum namanya diumumkan secara resmi sebagai pemeran Wiro Sableng pada Februari 2017, Vino G Bastian merasa risau.

    Menurut Vino, ia tak cocok dan tidak mampu menjadi Wiro Sableng, jago silat dalam novel fiksi seri karya ayahnya sendiri, mendiang Bastian Tito.

    Ia tak memiliki latar belakang bela diri dan belum pernah main film laga.

    Dok Lifelike Pictures

    Padahal, tim pembuat film Wiro Sableng menginginkan ia yang memerankan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu.

    Tak kurang dari produser (Sheila Timothy), sutradara (Angga Dwimas Sasongko), dan pemain (koregrafer laga dan artis peran laga Yayan Ruhian) menilai sebaliknya.

    Di mata mereka, secara fisik Vino sudah sesuai dengan penggambaran tokoh Wiro dalam buku.

    Mengenai Vino harus beradegan laga, mereka yakin Vino akan mampu melakukannya setelah diberi latihan silat selama enam bulan.

    "Kata mereka, 'Kami pengin karena lo mungkin ada rasa yang enggak hilang dari bapak ke anaknya, pasti akan menjadi hal yang berbeda ketika film ini diperankan orang lain dibanding lo.' Saya ngerasa sih biasa aja, enggak harus saya juga. Akhirnya, di-casting, dicoba beberapa, akhirnya 'Oke, lo mau ya film ini'," ceritanya kepada Kompas.com.

    Namun, Vino tetap pada pendiriannya.

    Baru setelah bujuk rayu yang tak berkesudahan datang dari berbagai pihak, Vino akhirnya luluh.

    belajar enam bulan

    Sebelum shooting, Vino G Bastian harus menjalani workshop selama enam bulan. Dalam proses itu, ia berlatih fisik dan belajar bela diri silat serta mendalami karakter Wiro Sableng.

    Sebulan pertama, pada 2017, Vino belajar dasar-dasar pencak silat. Ia harus memulai dari nol karena tak memiliki latar belakang bela diri seperti sebagian pemain lainnya.

    Contohnya, Sherina Munaf, pemeran Anggini, pernah belajar wushu, dan Yayan Ruhian aslinya pesilat.

    Dok Lifelike Pictures

    "Jadi, Kang Yayan punya tim, dari berbagai macam perguruan. Pertama kali masuk di-drill (dilatih) fisik dulu. Fisiknya sudah bagus, baru masuk dasar silat. Setelah dasar silat, masuk ke jurus, akhirnya ke koreografi laga (untuk keperluan adegan film)," papar Vino.

    Sebagaimana belajar silat, mendalami karakter Wiro Sableng juga tak mudah bagi Vino G Bastian.

    Menurut Vino, Wiro slengean. Kalau Wiro tak sedang bertarung, tak akan ada orang yang menyangkanya pendekar sakti.

    "Tapi, ketika dia berantem, orang bakal, 'Lho, tuh jago gitu.' Kalau orang sudah sering berlatih silat atau apapun, otomatis ada gesture-gesture yang memperlihatkan dia jago silat. Tapi, Wiro enggak seperti itu. Dia harus tetap apa adanya. Orang enggak tahu, dia jago silat atau dia orang gila," papar Vino lagi.

    Untuk menyelami karakter Wiro, Vino G Bastian dibantu oleh produser, sutradara, dan para lawan mainnya.

    Seperti apa Wiro menurut mereka, itu yang dirangkai oleh Vino dengan pemahamannya atas Wiro berdasarkan buku serinya.

    "Itu menarik gitu, imajinasi orang tentang Wiro itu beda-beda," ucap Vino.

    cedera karena bandel

    Meski baru kali pertama main dalam film dengan banyak adegan laga dan belum lama mengenal silat, Vino G Bastian meminimalkan bantuan stuntman atau pemeran pengganti.

    Pemeran Utama Pria Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2008 ini berusaha beraksi sendiri dalam shooting adegan laga film tersebut.

    "Stuntman ada, disiapin. Tapi, saya emang orangnya kukuh. Saya pengin melakukan adegan fighting sendiri, karena latihan enam bulan buat apa gitu. He he he. Saya coba melakukan semuanya sendiri," ujarnya.

    Dok Lifelike Pictures

    Namun, Vino mengaku juga bahwa ia sebenarnya tak memaksakan diri melakukan semua itu sendiri.

    Sebelum shooting adegan-adegan berisiko, Vino dan stuntman-nya mencoba melakukannya. Jika Vino dianggap mampu, tak perlu stuntman.

    "Tapi, kalau ternyata udah berkali-kali enggak dapat (tak berhasil), sementara waktu udah mepet dan saya kelelahan, jadi enggak bisa dipaksain, jadi digantiin dulu," tuturnya.

    Vino bercerita bahwa ia pernah mengalami cedera. Namun, cedera itu dialaminya bukan ketika ia menjalani shooting film Wiro Sableng, melainkan ketika masa praproduksi.

    "Saya cedera bukan pas adegan fighting gitu. Kan kami shooting di tempat dingin, jadi sebelum mulai kami pemanasan, setelah itu pendinginan. Nah, karena saya waktu itu bandel, jadi setelah fight, saya lupa pendinginan," kenangnya.

    "Tiba-tiba masuk adegan lagi. Nah, ketika jalan menuju set, saya keseleo, cedera di pinggang. Tapi, bukan pada adegan sebenarnya, cedera yang amat sangat enggak penting. He he he," sambungnya.

    Karena tak bisa berjalan, ia harus beristirahat dari shooting selama tiga hari.

    "Enggak boleh diurut, enggak boleh difisioterapi, sampai enggak bisa jalan. Diurut pelan-pelan sama ahli urut saraf, tiga hari kemudian saya shooting lagi," katanya.

    13 Kapak Maut

    Wiro Sableng memiliki senjata andalan Kapak Maut Naga Geni 212. Sesuai kebutuhan shooting, tim produksi film Wiro Sableng menyiapkan 13 kapak dengan ukuran, berat, dan bahan berbeda-beda.

    Dok Lifelike Pictures

    Kapak-kapak dengan berat lima sampai tujuh kilogram digunakan pada pengambilan gambar detail dan pengambilan gambar adegan laga dari jauh.

    "Tapi, untuk fight yang body contact, yang dekat, kami pakai kapak dari bahan soft, tapi dengan kualitas yang sama," lanjutnya.

    "Kalau dilihat, itu enggak ada bedanya, dua-duanya tajam. Tapi, ketika dipegang, 'Oh yang ini ringan, yang ini enggak'," imbuhnya.

    Kapak-kapak itu dibikin dengan ukuran, berat, dan bahan yang berbeda-beda juga untuk keamanan Vino dan lawan-lawan mainnya dalam adegan laga.

    Untuk adegan laga, Vino menggunakan kapak yang ringan dan lembut, sehingga jika terkena kapak, dirinya dan lawan mainnya tak terluka.

    Dok Lifelike Pictures

    Vino G Bastian mengungkapkan pula bahwa ia juga berlatih menggunakan kapak-kapak itu.

    "Wiro punya senjata yang kompleks. Jadi, di mata pisaunya yang kembar itu senjata; ujung gagang bawahnya, kepala naga, itu senjata; gagangnya pun senjata. Jadi, semuanya senjata," paparnya.

    "Nah bagaimana caranya mempergunakan itu agar semua elemen itu terpakai saat melawan musuh-musuhnya, nah itu ada belajarnya khusus," paparnya lagi.

    "Gimana cara pegangnya, enggak seperti golok atau pedang yang gampang diputer-puter," lanjutnya.

    "Gimana cara muter, cara melempar, cara untuk menebas, karena gagangnya itu enggak simetris. Kalau pegang yang di ujungnya, bisa gimana. Kalau pegangnya terlalu atas, nanti kalau diputer bisa kena diri sendiri. Jadi, menarik sih," paparnya juga.

    Yayan Ruhian sebagai koreografer laga dalam film itu pun membuat gerakan-gerakan silat untuk Wiro Sableng terkait penggunaan kapak-kapaknya.

    "Kang Yayan sendiri, ketika mau buat koreo ini, dia sendiri latihan sama kapaknya itu. Timnya itu juga latihan membuat jurusnya. Jadi, kapaknya dipakai dulu sama mereka untuk cari koreo-nya. Misalnya, putaran kapaknya, beda dari pisau. Memang semuanya harus dikonsep, jadi fight dengan menggunakan kapak ini memang harus bener-bener dipikirin banget koreo-nya," ujar Vino.

    tak gondrong lagi

    Sebelum ini, lewat sampul depan novel seri Wiro Sableng, publik mengenal Wiro Sableng berambut gondrong. Publik juga mengetahui Wiro berkostum silat atau pangsi gombrong.

    Namun, untuk film Wiro Sableng, penampilannya dibikin berbeda. Pangsi Wiro dibuat lebih lekat tubuh, supaya gerakan silatnya terlihat lebih jelas.

    Jahitan pada kostum Wiro pun tampak tak beraturan. Ikat kepalanya juga berantakan.

    "Karena dia bukan seorang (pria) dandy, dia ngiketnya pun asal-asalan, miring-miring. Rambutnya pun acak-acakan, enggak lurus seperti Mas Ken Ken (pemeran Wiro dalam sinetron serinya). Ini berantakan banget," ujarnya.

    "Semuanya handmade. Jadi, jahitannya bener-bener jahitan tangan semua. Baju-baju di sini jahitannya enggak rapi," tambahnya.

    Dok Lifelike Pictures

    Supaya terlihat berbeda pula, Wiro mengenakan ikat tangan cokelat pada kedua pergelangan tangannya dan semacam kaus kaki dari bahan karung.

    Ikat tangan itu juga berfungsi untuk melindungi lengan Vino ketika harus berbenturan fisik dengan lawan-lawan mainnya dan kaus kaki tersebut untuk melindungi kaki Vino ketika shooting di semak belukar.

    "Semak belukarnya itu luar biasa. Ketika saya tes kamera tanpa kaus kaki itu, beberapa kali kuku saya itu kecabut karena nyangkut di akar-akar itu," kisahnya.

    "Jadi, selama masih ada waktu, kami akalin dengan baju yang pakai kaus kaki, tapi tetap enggak aneh-aneh. Semua basic-nya sama, tetap putih. Wiro enggak mungkin diganti bajunya," sambungnya.

    Sementara itu, sesuai ceritanya, rambut Wiro Sableng dalam film dibikin tidak sepanjang rambut Wiro pada sampul novel serinya.

    "Biar kelihatan fresh saja. Ini Wiro ceritanya baru pertama kali turun gunung. Di film pertama ini memang Wiro digambarkan baru fresh graduate gitu, bener-bener yang belum tahu dunia persilatan, baru turun gunung," ujar Vino.

    "Urusan rambut saja kami mencoba berbagai macam style dari panjang banget, sampai pendek segini, itu dipikirin banget," sambungnya.

    "Pernah sampai panjang sekali, pas main kapak rambutnya nyangkut. Nah, akhirnya segini," ceritanya.

mereka di sekitar wiro sableng

  • Dok Lifelike Pictures

    sinto gendeng

    Wiro Sableng tak akan menjadi Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 jika tak diasuh oleh pendekar golongan putih Sinto Gendeng, yang bernama asli Sinto Weni.

    Perempuan tua pemilik Pukulan Sinar Matahari inilah yang mengajarkan Wiro ilmu bela diri sejak Wiro kanak-kanak.

    Sinto Gendeng telah menyelamatkan Wiro bayi dari rumah orangtuanya yang terbakar karena serangan pendekar golongan hitam Mahesa Birawa dan pasukannya, musuh besar Sinto Gendeng.

    Sinto Gendeng perempuan tua berusia 80 tahun yang bertubuh tinggi langsing dan berkulit gelap. Bau badannya pesing.

    Wajahnya, yang cekung, menimbulkan kesan menyeramkan.

    Kepalanya ditumbuhi rambut panjang berwarna putih. Lima tusuk konde perak yang menghiasi kepalanya menancap langsung ke kulit kepalanya, bukan terselip pada rambut.

    Sinto biasa mengenakan pakaian hitam.

    Dikisahkan, Sinto Gendeng bermukim di puncak Gunung Gede, setelah mengundurkan diri dari dunia persilatan selama 20 tahun.

    Orang-orang menyebutnya Gendeng karena mereka menganggapnya tak waras. Ia juga mudah marah, cepat turun tangan, dan pandai menyamar. Tawanya khas.

    Sinto Gendeng diperankan oleh Ruth Marini, pemain muda dalam kelompok teater artis peran Happy Salma.

    Produser film Wiro Sableng, Sheila Timothy atau Lala, menyebut bahwa Sinto Gendeng merupakan salah satu karakter yang sulit dimainkan dan pemerannya paling sulit didapat.

    Dalam film tersebut cerita Sinto Gendeng dibagi menjadi tiga fase usia; ketika ia berumur 40, 60, dan 80 tahun.

    Pemainnya, yang berperan untuk semua fase usia itu, harus berfisik kuat, karena harus melakukan adegan-adegan laga dengan sling dan alat-alat lain. Ruth memenuhi syarat itu.

    "Dia kan pendekar paling jago di dunia persilatan. Jadi, enggak bisa juga pilih orang yang secara fisik enggak kuat atau tidak bisa melakukan jurus-jurus silat yang meyakinkan penonton," ucap Lala kepada Kompas.com.

    Selain itu, pemerannya harus mampu menghidupkan karakter Sinto Gendeng. Ruth juga memenuhi syarat tersebut.

    "Karena, Ruth bisa men-translate apa yang dia baca sebagai Sinto Gendeng hanya melalui suara tertawa (perempuan) umur 80 tahun," ujar Lala.

    Lala bercerita bahwa Ruth Marini diusulkan oleh Happy Salma untuk ikut seleksi calon pemeran karakter Sinto Gendeng.

    Ruth terpilih setelah Lala dan timnya menilai aksi Ruth dalam seleksi itu dan menonton penampilan Ruth dalam sejumlah pertunjukan teater.

    Karena usia Ruth amat jauh lebih muda daripada umur Sinto Gendeng, make up artist Jerry Oktavianus dan timnya mengubah penampilan Ruth dengan menggunakan make up prostetik. Pengerjaan make up itu sampai kira-kira delapan jam.

    Senjata andalan Sinto Gendeng:
    • Tusuk Kundai
    • Kapak Naga Geni 212
    • Batu Hitam
    • Tongkat Kayu Butut.
    Jurus andalan:
    • Pukulan Sinar Matahari
    • Pukulan Angin Es
    • Orang Gila Mengebut Lalat
    • Sepasang Sinar Inti Roh (ilmu ini tidak diajarkan kepada Wiro Sableng).


    Dok Lifelike Pictures

    Anggini

    Anggini, gadis 19 tahun, pendekar muda murid Dewa Tuak. Ia tampil serba ungu, dari pakaian hingga senjata berupa selendang.

    Wajahnya seperti bujur telur dan kulitnya kuning.

    Anggini bersama Bujang Gila Tapak Sakti menjadi teman-teman seperjalanan Wiro Sableng yang turun gunung untuk membalas dendam.

    Ia bagai adik perempuan bagi Wiro, meski awalnya Dewa Tuak berniat menjodohkan mereka berdua.

    Anggini dimainkan oleh penyanyi dan artis peran Sherina Munaf. Di mata bintang film Petualangan Sherina ini, Anggini fisikal, perfeksionis, dan ambisius untuk menjadi pendekar.

    Menurut Sherina, Anggini itu lebih pintar mengekspresikan dirinya lewat gerakan, termasuk gerakan bela diri ketika bertarung, daripada melalui kata-kata.

    "Satu hal yang challenging banget, karena Anggini orang yang sangat fisikal, aku berusaha achieve itu dengan susah payah," ujarnya kepada Kompas.com.

    Di mata Sherina, Anggini fokus dan bisa mengontrol diri, sehingga gerakan bela dirinya stabil dalam keadaan apa pun.

    Setiap melakukan gerakan bela diri, Anggini terlihat seperti pendekar yang terlatih bertahun-tahun. Anggini juga bisa mengatur bentuk gerakannya yang dilakukan berkali-kali.

    Sherina juga menggambarkan Anggini sebagai perempuan yang penuh logika, bertolak belakang dengan Wiro Sableng.

    Karena gerakan sudah seperti bahasa kedua bagi Anggini, Sherina berusaha menghayati karakter tersebut melalui gerakan bela diri.

    "Ketika latihan fisik, saya merasa bisa jadi lebih dekat dengan Anggini. Buat saya pribadi, kayaknya sih makin mengerti mengenai peran Anggini ketika saya latihan fisik, karena rasanya dia sebagai murid pendekar, dia berpikir dengan gerakan. Jadi, saya merasa dekat dengan dia ketika latihan fisik," tuturnya.

    KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES

    Dengan latar belakang bela diri wushu yang dimilikinya, Sherina Munaf merasa terbantu menyelami Anggini.

    Sherina sudah memiliki bekal kelenturan fisik, tinggal berlatih membuat kombinasi sejumlah gerakan.

    "Tapi, pastinya ada perbedaan-perbedaan dari wushu ke silat dan aku sendiri sih enggak mengerti banyak mengenai silat," ucapnya.

    "Cuma, aku percaya banget dengan tim koreografer, yang dikumpulkan dengan background karakter yang berbeda-beda, bisa menciptakan sesuatu yang silat tapi yang sesuai dengan karakter masing-masing," sambungnya.

    Menurut Sherina Munaf pula, senjata andalan Anggini, Selendang Sutra Ungu, sudah mewakili wataknya, lembut tetapi tegas.

    "Senjatanya selendang berwarna ungu, itu warna kesukaan dia, dan juga paku perak," ujarnya.

    "Untuk selendang, lumayan PR (pekerjaan rumah, sulit) dalam mengerjakan koreografinya, karena ini selendang fantasi. Adegannya akan dipoles lagi sama tim art dan CGI (computer generated imagery)," sambungnya.

    "Butuh imajinasi lah (untuk menjalani adegan menggunakan selendang fantasi itu). Istilahnya, bukan pedang yang padat," imbuhnya.

    Jurus andalan Anggini:
    • Sepasang Tangan Menebar Maut
    • Asap Kencana Biru
    Senjata andalan:
    • Selendang Sutra Ungu
    • Paku Perak


    Dok Lifelike Pictures

    Bujang Gila Tapak Sakti

    Bujang Gila Tapak Sakti merupakan keponakan Dewa Ketawa sekaligus sahabat Wiro Sableng. Ia memiliki wajah bundar, mata besar, kulit memerah, dan badan gemuk.

    Sehari-hari ia mengenakan peci hitam untuk menutupi kepalanya. Karena ia sering merasa kepanasan, kipas lipat selalu digenggamnya di tangan kanannya. Kipas tersebut juga sekaligus menjadi senjatanya.

    Tapak saktinya pun bisa menghilangkan racun.

    Bujang Gila Tapak Sakti selalu mengenakan baju dan celana terbalik, bagian depannya di belakang dan bagian belakangnya di depan.

    Ia menyebut dirinya berusia 80 tahun. Namun, wajah dan gayanya masih seperti pemuda berumur kira-kira 25 tahun. Itu hukuman dari Dewa Ketawa karena ia mencuri gemelan keraton milik Ratu.

    Selama tujuh tahun ia dihukum dibenamkan dalam lubang inti es di kawah Gunung Mahameru. Satu tahun di dalam lubang tersebut sama dengan delapan tahun.

    "Kalau Bujang Gila Tapak Sakti itu, karakternya ya itu, gila, he he he. Kayak anak kecil, tapi punya kesaktian yang cukup tinggi," ujar artis peran Fariz Alfarizi, yang memerankan karakter tersebut, kepada Kompas.com.

    KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES

    Menjadi Bujang Gila Tapak Sakti menuntut Fariz untuk bisa bertingkah seenaknya, termasuk doyan meledek orang hingga terkesan meremehkan.

    Ia mengatakan bahwa mendalami karakter Bujang Gila Tapak Saksi amat menarik.

    "Kebetulan waktu pertama kali dengar sosok Bujang Gila seperti apa, saya langsung ter-influence dari salah satu film, ada yang tokohnya yang di bayangan saya seperti itu," ceritanya.

    "Jadi, saya coba menggali itu dan ditambah lagi ada reading dari coach aktingnya. Ini pertama kali mainin karakter di film yang cukup panjang dan kuat," lanjutnya.

    "Fariz bareng saya di (film) The Raid 2. Sebelum di film, kami sudah saling kenal di dunia persilatan," kisah pesilat Yayan Ruhian, pemeran Mahesa Birawa dan koreografer laga film Wiro Sableng.

    "Dan, saya masih ingat waktu dia sempat telepon saya, 'Kang aku ditawarin ini, tapi kayaknya aku enggak berani. Aku jadi fighter aja ya.' 'Enggak Riz, lo jangan mikir, lo jalanin aja,' saya bilang," sambung Yayan.

    Jurus andalan Bujang Gila Tapak Sakti:
    • Dua Puncak Mahameru Murka
    Senjata andalan:
    • Kipas


    Dok Lifelike Pictures

    Mahesa Birawa

    Mahesa Birawa merupakan pendekar sakti golongan hitam yang menewaskan ayah dan ibu Wiro Sableng.

    Musuh bebuyutan Sinto Gendeng dan Wiro ini berbadan tegap, berwajah sangar dengan mata besar, dan kumis tebal melintang, serta berambut panjang.

    Sebelum beralih ke golongan hitam, Mahesa, yang aslinya bernama Suranyali, merupakan murid Sinto Gendeng dan, kemudian, Tapak Gajah.

    Yang didaulat memerankan Mahesa Birawa adalah Yayan Ruhian (49), pesilat yang menjadi koreografer laga dan artis peran laga.

    Kepada Kompas.com, Yayan mengaku awalnya tak menyangka bahwa ia, yang menggemari Wiro Sableng dalam buku komik serinya, dalam filmnya malah menjadi musuh bebuyutan sang idola.

    "Saya sendiri sama sekali enggak pernah nonton sinetron seri Wiro Sableng. Tapi, kalau untuk komiknya, itu mungkin satu-satunya komik yang saya baca sampai dua tiga kali. Ya, memang itu komik kebanggaan dan kesukaan saya. Jadi, tokoh-tokoh yang jahat, siapa yang teman-teman Wiro, masih saya ingat," kenangnya.

    KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES

    "Buat saya pribadi, awalnya saat mendapat tawaran memerankan tokoh Mahesa, saya sendiri kaget. Soalnya, ya Mahesa itu digambarkan tinggi besar, beda banget dengan fisik saya yang kecil," ucapnya lalu tertawa.

    Kejam, sadis, dan durjana merupakan tiga kata yang digunakan oleh Yayan Ruhian untuk menggambarkan Mahesa Birawa.

    Berbekal itu, Yayan kemudian membentuk sendiri karakter atau gaya bertarung yang sesuai dengan karakter Mahesa.

    Yayan Ruhian menjelaskan bahwa dalam silat ada tiga tingkatan, yakni lembut, keras, dan kasar. Untuk Mahesa, ia menggunakan silat yang kasar.

    "Mahesa ya itu seorang manusia durjana, ha ha ha. Tapi, walaupun badan saya tidak sebesar yang saya bayangkan (untuk menjadi Mahesa),mudah-mudahan kejam dan sadisnya bisa memenuhi ekspektasi penonton," tuturnya.

    "Buat saya sendiri, background bela diri tidak banyak, itu cukup. Saya harus bisa menggabungkan karakter gerakan silat dengan karakter pribadi Mahesa," ucapnya.

    "Dia punya ambisi, dia harus curang, sekalipun untuk membunuh atau apa pun. Bagaimana sadisnya dan kasarnya, digabung," tambahnya.

    Jurus andalan Mahesa Birawa:
    • Gada Rantai Berduri
    • Tongkat Besi Bercagak Dua
    Ilmu dan pukulan andalan:
    • Semua ilmu ajaran Sinto Gendeng
    • Pukulan Kelabang Hijau


    Dok Lifelike Pictures

    Kala Hijau

    Kala Hijau, dari golongan hitam, merupakan salah satu musuh Wiro Sableng. Ciri khasnya, jika bertarung ia menutup separuh wajahnya dengan topeng tengkorak tipis.

    Kala Hijau merupakan Ketua Partai Lembah Tengkorak. Semua anak buahnya memiliki Pukulan Sinar Beracun, yang mengakibatkan nyawa melayang.

    "Kalau Kala Hijau tuh seksi, bengis, antagonis gitu, masuk golongan hitam," ucap Gita Arifin (22), pemeran Kala Hijau, kepada Kompas.com.

    Bagi Gita, hal paling menantang untuk menjadi Kala Hijau adalah, "Gimana caranya mengeluarkan rasa bengis itu walaupun pakai topeng."

    Gita mengungkapkan bahwa ia banyak belajar tentang cerita dan karakter-karakter Wiro Sableng dan Kala Hijau dari informasi yang diberikan oleh para warganet di media sosial.

    "Aku dari awal jujur enggak tahu ya tentang Wiro Sableng. Akhirnya, aku nyari di YouTube. Bajunya kayak apa sih. Pas tahu, oh mukanya ditopengin, oke enggak apa-apa," ceritanya.

    "Terus aku mengenali karakter aku tuh malah dari netizen-netizen yang berbaik hati," sambungnya.

    "Jadi, kayak di IG (Instagram) bermunculan lah fans fanatik gitu, yang nge-share tentang novel-novel peran aku. Ternyata, peran ini ada di novel ini, lho, aku juga baru tahu," ceritanya pula.

    Gita mengaku bahwa untuk beradegan laga ia tidak mengalami kesulitan, karena ia atlet pencak silat tingkat nasional.

    Gita dan para pemain lainnya menjalani proses latihan koreografi laga selama dua bulan. Setelah itu, selama 20 hari ia mengikuti proses shooting di pegunungan di Jawa Barat.

    Gita mengungkapkan pula bahwa karakter Kala Hijau muncul ketika ia sudah di-make up dan mengenakan kostum.

    "Ternyata, beda banget hawa ketika latihan dengan udah pakai kostum, make up, dan di set akan timbul dengan sendirinya. Kala Hijau keluar walaupun masuk angin," tutur perempuan dari Bandung ini dengan bumbu canda.

    "Kami shooting di lokasi yang suhunya mendekati 10 (derajat Celcius) ke bawah kadang-kadang. Jadi, harus tahan dingin banget. Terus, hujan juga," ceritanya juga.

    "Aku ada kebagian scene malam, udah hujan, tim selalu siapin jaket biar enggak kedinginan. Waktunya take, lepas lagi (jaket). Pas udah pulang, baru masuk angin," tambahnya.



    Dok Lifelike Pictures

    Pangeran

    Pangeran, yang dimainkan oleh Yusuf Mahardika (19) merupakan putra dari Prabu Kamandaka, yang diperankan oleh Dwi Sasono.

    Alkisah, pemuda berusia 17 tahun tersebut berusaha menemukan jati dirinya dalam menyiapkan dirinya menjadi ahli waris kerajaan ayahnya.

    "Memang di sini Pangeran ngikutin role model, ayahnya, nyari jati diri, karena kan umur 17 tahun anak kerajaan harus mandiri, harus bisa gantiin ayahnya kelak," tutur pemeran Madun dalam sinetron seri Tendangan Si Madun ini.

    Meski hampir tidak pernah beradegan bertarung, Yusuf tetap harus mengikuti latihan koreografi laga.

    "Kalau karakter Pangeran sendiri hampir enggak ada silat, karena kan anak kerajaan, ya gitu lah. Tapi, Pangeran ikut latihan (koreografi laga), karena kan ketika adegan berantem satu frame-nya sama mereka-mereka (yang beradegan bertarung), jadi dasar-dasarnya diajarin," tuturnya.

    Yusuf mengaku awalnya tidak tahu banyak tentang Wiro Sableng. Ia lalu menggali informasi mengenai novel seri dan karakter-karakternya tersebut dari Vino G Bastian, pemeran Wiro Sableng sekaligus anak dari Bastian Tito, penulis Wiro Sableng.

    "Tahu aja, tapi enggak tahu seluk beluknya. Pas disuruh main, oh baru tahu bukunya segini banyak dulu, dari cerita Bang Vino sendiri dan yang lain juga," ucapnya.

    Menurut Yusuf, dalam berperan ia dibebaskan oleh Angga Dwimas Sasongko, sang sutradara, untuk mengembangkan karakter Pangeran.

    "Kalau buat Pangeran sendiri sebenarnya PR (pekerjaan rumah)-nya sih kalau kita sendiri enggak tahu ya keadaan kerajaan kayak gimana. Aku nanya langsung ke Mas Angga, ini karakternya mau dibawa ke mana, ada referensi film kerajaan China atau apa?," ujarnya.

    "Kata dia, 'Oh enggak usah pakai referensi kerajaan China, bikin aja senatural mungkin, se-fresh mungkin. Jadi, memang dikasih kebebasan buat karakter Pangeran ini. Ngikutin alur aja," lanjutnya.



    Dok Lifelike Pictures

    Rara Murni

    Rara Murni merupakan adik Prabu Kamandaka. Rara bertugas menyiapkan keponakannya, Pangeran, untuk menjadi ahli waris kerajaan ayahnya.

    "Kalau bisa dibilang, dia ngejagain Pangeran. Aku pengin dia menemukan jati dirinya biar kelak jadi raja yang bijak," kata Aghniny Haque (21), pemeran Rara Murni, kepada Kompas.com.

    Rara Murni jago berkuda dan main pedang.

    "Rara ini bukan warrior, tapi pengin jadi warrior, karena dia bisa membela dirinya sendiri. Aku (adegan yang dijalaninya) ada silatnya. Jadi, dia latihan pedang dari Warku Alit (yang dimainkan oleh Lukman Sardi), adik tiri Raja Kamandaka," ujar Aghniny.

    Sebagai atlet taekwondo tingkat nasional, Aghniny merasa mendapat tantangan dengan menjadi Rara Murni.

    "Basic-ku taekwondo, tapi di sini main pedang. Sebelumnya enggak pernah belajar pedang atau apa. Aku benar-benar, pure, atlet taekwondo nasional, kurang-lebih hampir enam tahun," ucap perempuan dari Semarang ini.

    Ia mengaku sempat stres untuk bisa bermain pedang dengan baik. Tidak mudah baginya memindahkan kekuatan dan kelincahan kaki dalam taekwondo ke tangan dalam permainan pedang.

    "Dan, itu udah terbentuk, taekwondo itu lebih ke kaki. Akhirnya, di-twist, jadi ke tangan, karena main pedang," tuturnya.

    "Kalau buat fisik, ketahanan segala macam aku ada. Tapi, kalau keindahan main pedang kan harus dari awal," lanjutnya.

    "Aku latihan setiap hari karena sempat stres, sempat dimarahin juga oleh Mas Angga," tambahnya.

fiksi nusantara abad ke-16

  • Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 merupakan film fiksi berlatar waktu abad ke-16 dan tempat di Nusantara.

    Film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko itu juga menghadirkan banyak sosok dengan karakter masing-masing.

    Adrianto Sinaga atau Anto dan Chris Lie, dari Caravan Studio, beserta tim mereka, menjadi orang-orang yang berperan penting dalam memvisualkan sosok-sosok itu dan set Nusantara abad ke-16.

    Anto merupakan production designer dan Chris menangani konsep art dan desain untuk film tersebut.

    Dok Lifelike Pictures

    Anto, penata artistik film Ada Apa dengan Cinta?, mengatakan bahwa ada dua hal paling berat dan menantang dalam mewujudkan art dan desain untuk film Wiro Sableng.

    "Pertama, bukunya dikenal banyak orang dan sudah pernah dibikin film dan sinetron. Jadi, harus bertanggung jawab kepada fans. Ngedesain-nya beban juga, karena legendaris. Jangan bikin yang lebih jelek, harus lebih keren dan lebih bagus," tutur Anto.

    Yang kedua, hasil visualisasinya harus 100 persen sama dengan rancangannya.

    "Mungkin dua hal itu yang paling berat sebenarnya, karena ini kan karya orang ya, kami jadiin film. Jadi, punya tanggung jawab moral, ya harus lebih bagus gitu," tekannya.

    bukan usang dan tua

    Anto dan Chris bersama tim mereka menjadikan Nusantara kunci untuk kerja mereka.

    "Kita punya banyak banget budaya. Bahkan, sampai desain senjata pun benar-benar Nusantara. Jadi, orang kalau nonton enggak ngelihat ini film Jepang, Korea, China, tapi ini film Indonesia," tegas Anto.

    Namun, lanjut Anto, ia, Chris, dan tim mereka tidak ingin semua itu menjadi terkesan tua dan usang bagi para penonton, terutama yang milenial.

    Dari sisi art dan desain, Anto, Chris, dan tim mereka ingin film Wiro Sableng tetap diterima oleh para penggemar novel serinya dan sinetron serinya, sekaligus memanjakan para penonton muda masa kini.

    Dok Lifelike Pictures

    Mereka membutuhkan waktu satu tahun untuk merancang hingga mewujudkan kebutuhan film tersebut, dari kostum, senjata, hingga set lokasi.

    Menurut Anto, begitu lah semestinya waktu yang ideal untuk menyiapkan konsep art dan desain sebuah film.

    "Wiro tuh dari semua film yang pernah gue bikin, salah satu produksi yang step-nya tuh bener, dalam arti paling ideal dalam konsep art dan desain," tuturnya.

    Setelah Anto dan rekan-rekan membuat konsep art dan desainnya secara umum, Chris dan teman-temannya merinci konsep itu.

    Chris mengatakan bahwa, dalam bekerja, ia dan teman-teman berpatokan pada novel seri Wiro Sableng dan menghindari menonton sinetron serinya.

    "Supaya jiwa Wiro Sableng tuh tetap ada, tapi tidak akan sama dengan yang dulunya. Itu salah satu yang paling susah, terutama karakter Wiro Sableng-nya, yang paling kena aspek itu tadi," ujar Chris.

    Contohnya, untuk Wiro Sableng, Chris membuat empat sketsa karakter hingga mendapatkan detail kostum yang diinginkan.

    bengkel kapak maut

    Kapak Maut Naga Geni 212 diberikan kepada guru Wiro Sableng, Sinto Gendeng, oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas. Kapak tersebut lalu diwariskan oleh Sinto Gendeng kepada Wiro selaku murid lelakinya.

    Untuk merancang hingga mewujudkan kapak tersebut, Anto, Chris, dan tim mereka menghabiskan waktu tiga bulan.

    Dok Lifelike Pictures

    Mereka harus bisa menerjemahkan kapak dalam novel seri menjadi kapak dalam film, dengan kualitas Hollywood, karena film Wiro Sableng juga akan didistribusi ke luar negeri.

    "Kalau di buku kan kapaknya digambarkan segede bata. Tapi, kalau kami lihat, kok bata kecil ya. Jadi, kami harus bikin perbandingannya, kapaknya seberapa (besar) kalau dipegang Vino (Vino G Bastian, pemeran Wiro Sableng)," ucap Chris.

    "Jadi, kami bikin dulu yang bohongan (replika), cuma untuk studi size (ukuran) kapak doang. Dari situ kami analisis, oh ukuran kapaknya tuh yang paling bener segini," sambungnya.

    Selain harus pas dengan postur tubuh Vino, kapak itu harus sesuai dengan koreografi laga yang dibikin oleh Yayan Ruhian, koreografer laga dan pemeran Mahesa Birawa untuk film tersebut.

    Kapak itu harus pula memenuhi kebutuhan pengambilan gambar. Untuk itu, mereka harus berdiskusi dengan sutradara dan penata kamera.

    Selain itu, kata Anto, "Kapaknya kami desain beberapa kali, karena kami enggak mau bentuknya terlalu Eropa, tapi juga enggak mau bentuknya terlalu tradisional."

    Pada bagian tengah kapaknya terdapat ukiran berbentuk sinar matahari yang mewakili Pukulan Sinar Matahari milik Wiro.

    Pada bagian kiri dan kanannya ada ukiran berbentuk ombak dan angin.

    Ia memiliki empat jenis pukulan angin, yakni Angin Puyuh, Angin Es, Benteng Topan Melanda Samudera, dan Dinding Angin Menembus Tindih Menindih.

    Ia juga memiliki pukulan ombak bernama Segulung Ombak Menerpa Karang.

    Sementara itu, simbol 212 di pinggir kapak tak lagi ditulis dengan angka, tetapi dengan garis-garis.

    Senjata-senjata lain dari sosok-sosok lain dalam film tersebut juga mereka garap. Jumlah senjata itu ratusan. Begitu pula kostum untuk film itu.

    "Itu tergambar semua dalam 185 buku. Jadi, luar biasa imajinasi dari almarhum Bastian Tito waktu membuat buku ini," ucap Sheila Timothy, produser dan penulis naskah film tersebut.

    Meramu efek visual dan koreografi laga

    Semua efek visual untuk film Wiro Sableng dikerjakan oleh 99 orang Indonesia dari bidang tersebut.

    Karena film Wiro Sableng dibikin atas kerja sama antara Lifelike Pictures dengan Fox International Production (FIP), perusahaan film Hollywood itu menyediakan sejumlah technical advisor (penasihat teknis) untuk efek visualnya.

    Sheila Timothy ingin menghadirkan efek visual yang sekualitas dengan efek visual film Hollywood.

    "Kadang-kadang ada film yang, 'Ah, CGI (computer generated imagery)-nya enggak masuk akal,' Nah, ini kami enggak mau kayak gitu. Kami masih berdiskusi bagian mana yang real, mana yang perlu efek visual," ucapnya.

    CGI digunakan untuk, antara lain, dalam menghadirkan Selendang Sutra Ungu, senjata andalan Anggini, dalam film tersebut.

    Dok Lifelike Pictures

    Sementara itu, koreografi laga dalam film Wiro Sableng ditangani oleh dua koreofrafer laga ternama.

    Mereka adalah Yayan Ruhian dari negeri sendiri dan Chan Man Ching dari Hong Kong,

    Chan Man Ching pernah menjadi koreografer laga untuk film Rush Hour (1998), yang dibintangi oleh Jackie Chan dan Chris Tucker.

    Yayan, yang berlatar bela diri silat, membuat semua detail jurus untuk adegan laga dan Chan Man Ching bertugas mengarahkan para pemain dalam beradegan laga.

    Kepada Kompas.com, Yayan mengungkapkan bahwa ia harus tahu dulu latar belakang bela diri para pemain film Wiro Sableng untuk membuat koreografi laga.

    Mereka yang tidak memiliki dasar bela diri harus diajari oleh Yayan dari nol. Sebaliknya, untuk mereka yang sudah memilikinya, Yayan membuat koreografi laga berdasarkan kemampuan mereka.

    Contohnya, untuk Sherina Munaf, yang berperan sebagai Anggini dan belajar wushu, Yayan menonjolkan gerakan kaki. Wushu, menurut Yayan, memiliki teknik tendangan yang fleksibel.

    "Jangan terus bikin yang belibet. Kembangin aja apa yang menjadi kelebihan. Kalau udah tahu background-nya, tinggal menyiapkan, kasih polanya begini, silakan kembangkan. Lakukan dengan batasan karakternya masing-masing," paparnya.

    Untuk para pemain beradegan laga dengan menggunakan senjata andalan, Yayan mengadaptasi sejumlah jurus dari sejumlah perguruan silat.

    Contohnya, untuk Bujang Gila Tapak Sakti, yang dimainkan oleh Fariz Alfarizi, Yayan mengambil inspirasi dari jurus kipas dalam silat.

    "Dalam silat itu, kipas bisa dijadikan senjata dengan gerakan yang kelihatannya seperti tari, sesuai dengan karakter yang kocak dengan gerakan ngipas," paparnya pula.

    Dok Lifelike Pictures

    Mengenai kombinasi adegan laga dengan kostum pemain, Yayan mengatakan bahwa ia takjub kepada Marsha Timothy, yang menjadi Bidadari Angin Timur.

    "Jadi, itu kostumnya aja 10 kilogram. Jadi, bisa dibayangkan seorang Marsha Timothy bisa fighting dengan kostum seberat itu," tutur pemeran Maddog dalam film-film The Raid itu.

    "Pasti banyak orang yang enggak berkedip melihat fighting-nya. Satu, dengan beauty-nya. Kedua, dengan, 'Lho, ternyata...' Kan belum pernah seorang Marsha fighting di dalam film. Ini figthing dan langsung hmmm... kita lihat saja nanti," ujarnya.

wiro sableng dekati milenial

  • Wiro Sableng populer bagi para pembaca novel fiksi serinya, yang terdiri dari 185 judul yang diterbitkan pada 1967-2006.

    Wiro Sableng kemudian dihadirkan untuk kali pertama di layar lebar. Film itu, yang berjudul Sengatan Satria Beracun, dirilis pada 1988.

    Setelah itu, Wiro bertambah populer lewat sinetron serinya, yang ditayangkan pada 1997.

    Dok Lifelike Pictures

    Lomba cosplay Wiro Sableng dalam Popcon Asia 2017

    Kali ini, cerita Wiro Sableng dilayarlebarkan lagi. Film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko tersebut dibintangi oleh Vino G Bastian.

    Film yang dibikin atas kerja sama Lifelike Pictures dari Indonesia dengan Fox International Production (FIP), salah satu divisi perusahaan film Hollywood 20th Century Fox, itu bisa ditonton di jaringan bioskop Tanah Air mulai 30 Agustus 2018.

    Namun, mampukah Wiro Sableng kali ini menarik para penonton milenial negeri ini?

    Pembuat film tersebut pun mulai mengenalkan Wiro Sableng ke anak-anak muda Indonesia masa kini dengan sejumlah cara.

    cosplay

    Cara pertama adalah dengan masuk ke Popcon Asia 2017, festival budaya pop yang merupakan arena kaum muda menunjukkan kreativitas.

    Dalam kegiatan tersebut diadakan lomba cosplay (costume play) Wiro Sableng dengan tema #SiapSableng.

    Dok Lifelike Pictures

    Juara pertama (kanan) lomba cosplay Wiro Sableng dalam Popcon Asia 2017

    Lomba untuk laki-laki dan perempuan tersebut memberi warna berbeda di tengah cosplay yang selalu identik dengan kostum-kostum karakter anime.

    Pemenang lomba itu adalah cosplayer yang bisa menampilkan kostum Wiro Sableng sekreatif dan sesableng mungkin.

    Selain menerima hadiah berupa uang untuk juara pertama, kedua, dan ketiga, para pemenang tersebut berkesempatan ikut main film Wiro Sableng.

    "Ini salah satu kesempatan mereka untuk bisa merasakan sendiri film ini. Makanya, namanya Wiro Sableng Experience. Mereka bisa merasakan langsung dari dekat, karena Wiro Sableng ini bukan lagi punya almarhum penulis saja atau saya sebagai company, tapi punya bangsa Indonesia," ujar Sheila Timothy atau Lala, produser film itu dari Lifelike Pictures.

    pameran poster

    Poster menjadi media selanjutnya bagi Lifelike Pictures untuk mengenalkan Wiro Sableng ke generasi muda masa kini.

    Pada 23-28 Maret 2018, di Gedung A Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang, Banten, diselenggarakan pameran 34 poster alternatif untuk film Wiro Sableng.

    Poster-poster tersebut merupakan karya-karya yang masuk tahap-tahap semi final dan final Wiro Sableng Poster Competition, yang diadakan pada 12 Oktober 2017.

    Kompetisi yang diselenggarakan oleh Lifelike Pictures, UMN, dan Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) itu menyeleksi 350 poster menjadi 34 poster.

    Selain itu pada 27 Maret 2018, di Lecture Theatre, Gedung D UMN, sejumlah anggota kru film Wiro Sableng membagi ilmu dan pengalaman mereka dalam sebuah diskusi.

    merchandise

    Dok tokome.id/tokosableng

    April 2018, merchandise resmi film Wiro Sableng diluncurkan. Merchandise berupa t-shirt, tote bag, pouch, dan bantal itu dijual di toko online yang bekerja sama dengan Lifelike Pictures.

    Untuk tahap awal, mereka membuat 50 unit untuk masing-masing macam merchandise. Yang terlaris, t-shirt.

    Selanjutnya, para peminat bisa memesan sendiri sesuai desain dan jumlah yang mereka inginkan.

    game aov

    Cara lain lagi yang ditempuh oleh pembuat film Wiro Sableng untuk mengenalkan Wiro Sableng ke milenial adalah memasukkannya ke dunia games.

    Karakter Wiro Sableng menjadi hero dalam game Arena of Valor (AOV).

    "Kami ingin mengenalkan Wiro Sableng ini kepada anak-anak millenials yang belum lahir ketika bukunya ditulis," tutur Lala dalam kesempatan berbeda.

    Karakter Wiro Sableng baru bisa dimainkan oleh para pemain AOV di Arena Antaris pada 28 Agustus 2018, dua hari sebelum film Wiro Sableng masuk jaringan bioskop Indonesia.

    Menurut Lala, ide merambah dunia games itu sudah ada sejak awal dan persiapannya telah dimulai enam bulan lalu.

    Caravan Studio, yang bekerja sama dengan Lifelike Pictures untuk art dan desain film tersebut, menawarkan kerja sama dengan pembuat game.

    Dok AOV

    "Nah, game yang diajukan waktu itu adalah AOV," tutur Sheila.

    Setelah mempelajari profil AOV, Lala dan timnya tertarik dan memutuskan untuk mengembangkan Wiro Sableng menjadi karakter game.

    "Wiro kan IP (intellectual property) yang udah dikenal di Indonesia dari 1967. Fans-nya banyak dan sangat mewakili Indonesia, ceritanya sangat Indonesia, martial art-nya juga pencak silat," ujar Lala.

    "Jadi, animonya bangkit kembali, orang percaya lagi, dan orang kangen lagi sama Wiro, sehingga akhirnya Garena AOV memutuskan untuk mau kerja sama," sambungnya.

    "Dan, kami pun sangat bangga karena gamer AOV banyak sekali, enggak cuma di Indonesia, tapi juga di Asia," tambahnya.

    Kehadiran hero Wiro Sableng di AOV merupakan proyek kerja sama antara Lifelike Pictures, Caravan Studio, Tencent Timi Studio, Garena Indonesia, dan sejumlah pihak lainnya.

    bahasa

    Bahasa diharapkan bisa membantu Wiro Sableng lebih akrab dengan milenial.

    Menurut salah satu pemainnya, pemeran Bujang Gila Tapak Sakti, Fariz Alfarazi, bahasa yang digunakan dalam film itu jauh dari kesan kaku.

    Tak ada bahasa yang biasa digunakan dalam film kolosal. Karena itu, ia berpendapat bahwa Wiro Sableng bisa dekat dengan milenial.

    Dok Lifelike Pictures

    "Untuk mengenalkan Wiro Sableng ke milenial, salah satunya kami enggak dituntut untuk berbahasa (film) kolosal, kayak kisanak, ananda," ujarnya.

    Menurut ia, para pemain film Wiro Sableng diperbolehkan menggunakan bahasa Indonesia saat ini, tetapi tetap baku dan masuk akal, agar lebih mudah dipahami.

Lihat Trailer Wiro Sableng

PRODUCER Ati Kamil
editor Ati Kamil
reporter Andi Muttya Keteng Ira Gita Natalia Sembiring
fotografer Roderick Adrian Mozes Ari Prasetyo
COPYWRITER Lilyana Tjoeng
GRAPHIC DESIGNER Maulana Mickael
DEVELOPER Faradila Nurzahra Danopa

SUPERVISOR Donald Yudi Winarso
Copyright 2018. kompas.com