Jakob Oetama, pendiri harian Kompas, dalam tulisannya di halaman 1 harian Kompas, 28 Juni 2010 tepat pada ulang tahun Harian Kompas ke 45, menegaskan bahwa jatidiri media massa adalah berubah. Perubahan tak dapat dihindari karena dunia dan masyarakat yang menjadi lingkungannya juga berubah.
Panta rhei kai uden menei, kata Herakleitos, filsuf Yunani. "Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap."
Dalam tulisan yang berjudul “Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia” tersebut Jakob menyampaikan bagaimana Kompas sebagai sebuah harian berbasis kertas memandang kehadiran teknologi Internet.
Ia menulis, “Kompas cetak dengan sarana utama kertas tidak menempatkan perkembangan hasil teknologi informasi sebagai pesaing. Tidak melejitnya jumlah oplah cetak justru memompa adrenalin dan semangat memutar otak melakukan penyesuaian-penyesuaian.”
Meski kalimat itu disampaikan Jakob pada 2010, sesungguhnya jejak upaya penyesuaian diri yang dilakukan Kompas bisa dirunut jauh sekali ke belakang di akhir 1980-an ketika komputer dan Internet masih menjadi barang baru di Indonesia.
Martin Lister dalam “New Media, A Critical Introduction” menegaskan, kehadiran personal komputer pada pertengahan tahun 1980-an diyakini banyak kalangan sebagai pijakan baru bagi perkembangan berbagai inovasi media, kebudayaan, dan teknologi yang kemudian dikenal sebagai media baru (new media).
Pada pertengahan tahun 1980-an itulah, ketika komputer hadir untuk pertamakali di ruang redaksi Kompas, perubahan demi perubahan terus terjadi bahkan hingga kini.
Saat itu belum terbayangkan bahwa perkembangan teknologi komputer yang disusul munculnya Internet akan mengubah hidup manusia secara fundamental di segala lini kehidupan, termasuk media, cara kerja redaksi, dan cara menyampaikan berita.
Tiga tahap evolusi
John Pavlik, penulis buku “New Media and Journalism” yang terbit pada 2001, mengidentifikasi, media cetak yang masuk ke Internet mengalami tiga tahap evolusi.
Tahap pertama, media cetak hanya melakukan replikasi konten cetaknya di Internet. Tahap kedua, para jurnalis memproduksi sendiri konten-konten yang memang orisinil ditujukan untuk website-nya.
Selanjutnya, tahap ketiga terjadi ketika jurnalis membuat reportase yang memang khusus dibuat untuk ditayangkan di Internet dengan memanfaatkan seluruh kapasitas karakter mediumnya. Konten yang dibuat di tahap ketiga ini lebih kompleks.
Proses panjang perubahan yang dilalui Kompas hingga menjadi Kompas.com hari ini sesungguhnya tidak pernah menjadikan gagasan Pavlik sebagai cetak biru.
Inovasi yang dilakukan seringkali bersifat spontan semata-mata untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru yang mengemuka di depan mata.
Menariknya, berbagai perubahan yang acapkali terjadi secara “spontan” itu ternyata mengikuti garis yang dikemukakan Pavlik dalam tiga tahapan.
Sesungguhnya, tidak pernah ada cetak biru tentang bagaimana caranya selamat mengarungi zaman digital. Sampai detik ini, setidaknya Kompas “selamat” mengarungi transformasi tersebut.
“Providentia Dei,” kata Jakob. Penyelenggaraan Ilahi.
Tulisan ini mencoba menelusuri bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi secara bertahap sejak komputer hadir pertama kali di ruang redaksi hingga Kompas bertransformasi menjadi Kompas.com.
Selalu ada cerita menarik di masa-masa perubahan terjadi.