Selama satu tahun terakhir, banyak keputusan maupun sikap anggota DPRD DKI yang menjadi sorotan masyarakat. Sikap anggota Dewan yang sering mengkritisi kebijakan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama selama ini membuat mereka harus rela dikritisi balik, baik oleh Ahok (sapaan Basuki) maupun masyarakat.
Survei yang dilakukan Cyrus Network bahkan menunjukan sebanyak 54,8 persen warga merasa tidak terwakili oleh DPRD. Sementara sebanyak 24,8 persen merasa biasa saja, 9,7 persen merasa terwakili, dan 10,7 persen tidak tahu.
"Ini pekerjaan rumah yang besar bagi DPRD," kata Direktur Opini Cyrus Network Hafizul Mizan, di Jakarta, Kamis (12/3/2015).
Berikut ini adalah beberapa "kelakuan" anggota DPRD yang menjadi kontroversi.
Dalam sejarah DPRD DKI, anggota Dewan periode 2014-2019 merupakan yang pertama menggunakan hak angketnya. Mereka membentuk tim angket yang diketuai oleh Ketua Fraksi Partai Hanura Muhammad Sangaji, untuk menyelidiki pelanggaran kebijakan yang dilakukan Ahok. Terbentuknya tim angket ini dipicu oleh sikap Ahok yang menyerahkan draft APBD DKI 2015 bukan hasil pembahasan.
Selama proses penyelidikannya, tim angket mengundang berbagai pihak. Seperti pihak eksekutif yaitu Sekretaris Daerah Saefullah, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budihartono, hingga tim ahli pembuat sistem e-budgeting. Tim angket juga memanggil beberapa saksi ahli seperti pengamat komunikasi politik hingga pengamat keuangan.
Di akhir prosesnya, panitia khusus hak angket menyatakan, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama telah melakukan pelanggaran beberapa peraturan perundang-undangan. Pelanggaran pertama terkait penyerahan dokumen RAPBD palsu yang bukan hasil pembahasan dengan legislatif. Sementara itu, pelanggaran yang kedua terkait masalah etika.
Isu mengenai hal ini sebenarnya pertama kali "disuarakan" oleh Ahok sendiri. Adanya dugaan anggaran siluman juga menjadi alasan Ahok tidak mengirimkan APBD hasil pembahasan dengan DPRD kepada Kementerian Dalam Negeri. DPRD diduga menyelipkan anggaran "siluman" setelah rapat paripurna pengesahan APBD pada 27 Januari 2015 lalu.
"Ada anggota DPRD, wakil ketua komisi meng-crop (memotong) 10-15 persen anggaran program unggulan yang sudah kami susun dan disahkan dalam paripurna. Kemudian, mereka masukkan program versi mereka sampai Rp 12,1 triliun. Bagaimana bisa?" kata Basuki geram, di Balai Kota, Selasa (24/2/2015).
Anggaran itu merupakan potongan anggaran program unggulan dan dialokasikan untuk hal-hal yang tidak menjadi prioritas. Hal ini misalnya pembelian perangkat uninterruptible power supply (UPS) untuk semua kantor kecamatan dan kelurahan di Jakarta Barat. Namun, dugaan anggaran siluman ini sudah dibantah oleh DPRD DKI.
Pertengahan tahun ini seolah menjadi puncak perseteruan Ahok dengan DPRD DKI. Setelah menemukan adanya upaya menyelipakan anggaran siluman dalam APBD dan "diangket" oleh DPRD, Ahok melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi soal pengadaan UPS di APBD tahun 2014.
Meskipun, pada akhirnya ada yang melaporkan kasus tersebut ke Bareskrim Polri dan diusut hingga saat ini. Sekarang, ada empat tersangka yang ditetapkan terkait kasus UPS. Dua tersangka dari pihak eksekutif, yaitu Alex Usman dan Zaenal Soleman.
Alex diduga melakukan korupsi saat menjabat sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan UPS Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat, sedangkan Zaenal saat menjadi PPK pengadaan UPS Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Pusat.
Sementara itu, dua tersangka lainnya ialah dari pihak DPRD, yaitu Muhammad Firmansyah dari Fraksi Partai Demokrat dan Fahmi Zulfikar dari Fraksi Partai Hanura. Keduanya diduga terlibat dalam kasus UPS saat sama-sama menjabat di Komisi E DPRD DKI periode 2009-2014.
Selain kasus UPS, polisi juga mengusut kasus dugaan korupsi melalui pengadaan printer dan scanner 25 SMAN/SMKN di Jakarta Barat.
Sejak awal, proses pembuatan APBD DKI 2015 sudah penuh dengan masalah. Ketika Ahok mengirim draft APBD yang bukan hasil pembahasan dengan DPRD kepada Kemendagri, ternyata draft itu dikembalikan dan harus banyak direvisi. Apalagi, tidak ada tanda tangan pimpinan DPRD di dalamnya.
Setelah bolak-balik dikembalikan oleh Kemendagri, Pemprov DKI membutuhkan DPRD sebagai gerbang terakhir persetujuan draft APBD yang sudah direvisi itu. Namun, Rapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI Jakarta memutuskan penggunaan APBD DKI Jakarta 2015 justru melalui peraturan gubernur dan bukan peraturan daerah.
Keputusan ini sempat membuat kecewa Ahok. Beberapa pengamat sempat berpendapat sikap tersebut merupakan sebuah penjegalan.
Namun, DPRD beralasan mereka melakukan itu karena tidak memiliki banyak waktu untuk membahas ribuan lembar APBD. Sebab, waktu yang tersedia saat itu sangat sedikit hanya beberapa jam saja.
Pada September lalu, Komisi D DPRD DKI melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Bali. Salah satu lokasi yang mereka datangi adalah gedung DPRD Bali. Rencananya, mereka akan bertemu dengan Komisi III DPRD Bali. Namun, anggota Dewan kecele karena ternyata anggota DPRD Bali juga sedang melakukan kunjungan kerja ke luar kota. Sehingga, mereka tidak bertemu dengan satu pun anggota.
Kesekretariatan Dewan Bali yang menyambut anggota DPRD DKI menyatakan mereka akhirnya hanya sebentar saja di sana. Hanya melihat-lihat gedung dan numpang ke toilet.
"Ya kan memang tidak ada agenda terjadwal. Rombongan singgah ke DPRD Bali. Sebagai orang Timur, kita terima dengan baik. Mereka tadi melihat-lihat gedung dan menumpang di kamar mandi aja. Kami hanya memberikan minuman ala kadarnya," kata Kepala Sub Bagian Risalah I Putu Surata.